Donkey !!??
They Are List, Not The Foolish
Keledai adalah nama hewan yang
pernah saya dengar dalam cerita-cerita. Lain kedelai, lain pula keledai.
Yang pertama jenis kacang-kacangan dan yang kedua jenis hewan yang
mirip kuda.
Dalam bahasa arab, keledai itu dinamakan himar. Sementara dalam bahasa inggris disebut donkey atau ass.
Keunikan Keledai :
Keledai
cukup terkenal karena punya daya tahan tinggi dan bervitalitas lumayan
serta cukup bandel (stubborn). Oleh karena itu, sepanjang sejarah, ia
sering dijadikan alat untuk mengangkut barang-barang.
Selain itu, ia
juga memiliki keunikan yakni ringkikannya yang cukup melengking (loud
vocalization).
Telinganya juga lebih panjang dari telinga kuda biasa.
Oleh karena itu, ia diyakini mampu menangkap suara dari jarak yang jauh.
Namun
anehnya, keledai ini kemudian masuk kedalam ranah pergaulan social
dengan penekanan negative-nya setidaknya pengalaman yang saya alami di
saudi. Ia berubah menjadi label-label dalam memanggil seseorang. “inta
himar, la ta’arif ayya haajah” yang arti bebasnya ” kamu (itu) keledai,
serba tidak tahu”. Dari sini, keledai itu diidentikan dengan kebodohan,
tidak tahu apa-apa.
Ketika
keledai sudah masuk kedalam label-label, maka ia menjadi ‘name-calling”
atau panggilan yang berkonotasi negative. Maka, ia pun sudah masuk
dalam kategori “verbal abuse”.
Saya
melihat verbal abuse ini bahkan menjadi hal yang dilumrahkan. Tak
jarang saya mendengar cerita dari teman-teman yang bekerja disini
(Saudi) bahwa panggilan-panggilan yang tak sopan itu disemburatkan
kepada mereka oleh majikannya. Bahkan ada anak yang dipanggil “hewan”
oleh orang tuanya. Puih….saya hanya bisa mengelus dada.
Bukan
saja disini, ketika di Bandung pun, tak jarang saya menjumpai
gerombolan anak remaja yang memanggil kawannya dengan panggilan
“anjing”. Yang dipanggil pun anehnya tidak marah dan memanggil temannya
dengan panggilan yang sama. Saya pikir, wah, nampaknya anjing ini sudah
menjadi budaya yang popular setidaknya dalam komunitas remaja gang
dilevel perkampungan.
Dalam
ajaran islam, penghinaan terhadap orang lain itu dilarang karena bisa
jadi yang dihina itu lebih baik dari si penghina itu sendiri. Lihat
surat al-hujurat ayat 11.
Dari segi pendidikan, budaya name calling itu sangat berbahaya karena akan mempengaruhi kepribadian seseorang.
Label-label negative atau penghinaan akan potensial melukai
perasaan anak. Anak- anak yang acap dihina oleh saudaranya akan
mengendapkan pengalaman pahit tersebut bahkan sampai dewasa. Anak-anak
yang “dinistakan” orang tuanya (misalnya, dijuluki “bodoh”, “gegabah”,
“kusut’, “jelek” dst). Juga akan merekam peristiwa tersebut hingga
dewasa.
Bukan anak kecil saja, orang dewasa pun yang dipanggil dengan nama-nama yang hina dan tidak sopan, jelas akan murka dan marah.
Kembali lagi kepada pembahasan name calling ‘keledai” (bukan kedelai), maka sesungguhnya ia cermin dari budaya suatu komunitas. Jika
“keledai” atau hewan-hewan lainnya dijadikan label untuk melabeli orang
lain, maka perlu diajukan pertanyaan ” apa sih yang ada dalam batok
orang yang menyamakan orang lain dengan keledai dan hewan?
Personally
saya tidak setuju dengan label-label semacam itu. Jika anda menjumpai
anak anda melakukan kesalahan, jangan lantas anda memanggilnya bodoh.
Tapi jelaskanlah bahwa apa yang dia lakukan itu kurang tepat dan
kemudian tunjukkan yang benar. Tapi jika anda memanggilnya “bodoh” atau
“gak becus”, maka anda telah mematikan daya kreatifitasnya dan akhirnya
menjadi penakut dan tak akan perna mencoba lagi. Hatinya telah terlukai.
Ternyata name calling itu lebih tajam dan menusuk dari pedang.
Ini
juga bisa menjelaskan kenapa di Saudi, banyak TKW yang kabur. Bisa jadi
mereka tidak terbiasa dipanggil dengan label-label yang menghinakan.
Mereka para tkw sudah kerja banting tulang, tapi pada akhirnya dipanggil
bodoh bahkan dijuluki hewan. Siapa yang betah tinggal dalam rumah yang
sarat hinaan.
Apakah
mungkin memarahi seseorang tanpa menggunakan name calling? Tentu saja
ada. Berikut ini petikan yang bagi saya cukup tegas :
“Langkah pertama adalah menyediakan model. Ini berarti bahwa orang tua tidak pernah memanggil nama anak - mereka tidak pernah menggunakan label negatif. Banyak orang bertanya-tanya bagaimana mungkin untuk memperbaiki anak tanpa menggunakan label negatif. Rahasianya adalah ini: setiap kali Anda ingin menggunakan label negatif untuk secara akurat menggambarkan perilaku anak (yaitu "kasar"), ganti label dengan kata sebaliknya. Misalnya, alih-alih mengatakan Junior, "Anda bersikap kasar," Anda dapat mengatakan, "Anda harus bersikap sopan ketika berbicara dengan saya." Selalu gunakan label yang diinginkan bukan label ofensif. Dengan cara ini, anak-anak Anda hanya mendengar kata-kata target (tujuan Anda untuk mereka) selama 20 tahun mereka tumbuh dengan Anda. Ini membantu Program otak mereka untuk mengingat tujuan Anda. Dengan demikian, Anda bisa berharap bahwa anak-anak Anda akan berubah menjadi pintar, perhatian, cepat, jujur, membantu, baik, kreatif, ditentukan, pasien dan sebagainya. Namun, mereka harus MENDENGAR kata-kata secara konsisten untuk menghindari diri ke arah itu. Jika semua yang mereka dengar adalah bodoh, malas, egois, liar ... mereka akan percaya ini adalah semua yang mereka mampu”
Misalnya
saja, anak anda kasar dan suka menyentak anda. Dari pada anda
menjulukinya “si kasar”, maka lebih baik anda menggunakan ” kamu perlu
bersikap sopan ketika berbicara dengan orang tuamu”. Pada point ini,
anak anda akan tertuju pada target anda yakni bersikap sopan. Anda harus
konsisten menggunakan cara ini, agar lama-lama bisa terbentuk karakter
positif yang diinginkan terjadi pada anak anda. Anda pun harus menjadi
model kearah sana.
Maka,
budaya-budaya yang cenderung merendahkan reputasi orang lain perlu
diganti dengan budaya konstruktive yang jelas-jelas membangun dan bukan
mematikan. Label label seperti Keledai, anjing, hewan tidak baik untuk
dienforced ketengah-tengah pergaulan sosial, karena hal itu bagian dari
dehumanisasi. Dan itu menyalahi fitrah dan kesucian manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar